Saturday, November 8, 2014

Nasi Garuda



Merdeka.com - Berbicara mengenai rumah makan padang, biasanya yang di ingat menunya yang memicu kolestrol naik namun juga memicu selera makan. Tak diragukan lagi, rumah makan padang menjadi salah satu favorit yang dikunjungi untuk memenuhi hasrat perut. Salah satu lauknya, rendang pun dinobatkan sebagai makanan favorite dunia. Nikmatnyo.

Tapi, lupakan persoalan itu dulu. Pernahkah bertanya dan memperhatikan porsi nasi putih yang diberikan rumah makan padang berbeda saat makan di tempat dengan dibungkus. Porsi nasi Padang yang dibungkus jauh lebih banyak daripada makan di tempat. 

Saat mendaratkan kaki di rumah makan atau restoran padang dan memutuskan untuk makan di sana tanpa membawa pulang, biasanya disuguhi setangkup nasi putih yang ditaburi lauk yang dipilih. Biasanya, porsi nasinya sedikit, hanya satu centong batok berukuran kecil. Barangkali, ucapan 'Tambuah ciek,' sering diteriakan kepada pelayan yang nantinya pelayan akan memberikan satu porsi kecil nasi di atas piring kecil disiram kuah gulai.

Namun, saat memutuskan untuk membeli nasi padang 'take away' atau dibungkus, biasanya porsi nasinya dua centong batok atau lebih. Ini jauh lebih banyak dari pada makan di tempat.

Pernahkah bertanya mengenai masalah ini? 

Menurut Adrival (18), mahasiswa Universitas Andalas, yang diketahuinya dari cerita salah satu pemilik rumah makan di kota Padang, persoalan ini memiliki sejarah sendiri. Dulu, saat zaman Belanda yang dapat menikmati masakan padang di rumah makan padang adalah orang-orang elite. Seperti Saudagar kaya dan kolonial Belanda. Mereka itu biasanya yang meramaikan rumah makan padang dahulunya. 

Namun, pemilik rumah makan padang ingin orang-orang pribumi dapat menikmati juga masakan daerahnya sendiri. Maka, diakalilah dengan cara di bungkus. Orang-orang pribumi dapat menikmati masakan daerah sendiri dengan cara tidak makan di tempat. Porsi nasinya pun dibanyakin agar orang pribumi bisa berbagi dengan lainnya.

"Jadi membeli satu bungkus nasi bisa dimakan untuk dua orang," cerita Adrival saat dihubungimerdeka.com, Rabu (7/5).

Adrival pun menambahkan, kalau dulunya rumah makan padang juga dikenal dengan rumah makan Ampera. Nama Ampera sendiri berasal dari Amanat Penderitaan Rakyat.

"Makanya kalau di sini (Padang), rumah makan yang disebut Ampera jauh lebih murah dari rumah makan biasa," lanjutnya.

Namun menurut sastrawan asal Padang, Yusrizal ini persoalan biaya pelayanan. Jika makan di tempat, orang-orang mendapat pelayanan lebih dari pada yang dibawa pulang atau di bungkus. Dia menyebutkan, di kota Padang membeli makanan apapun kalau di bawa pulang memang jauh lebih banyak porsinya dibanding makan di tempat.

"Contohnya kalau beli soto, nasi dan kuah soto lebih banyak kalau di bawa pulang." ujarnya kepada merdeka.com

Lain lagi pendapat Eka, warga asal Pariaman menyebutkan bahwa persoalan porsi ini terkait biaya sabun cuci dan upah mencuci piring. "Makanya, makan di tempat porsinya lebih sedikit," tambah Eka.

Sementara pemilik salah satu rumah makan padang kawasan Kedoya, Dedi (36) mengatakan, bahwa persoalan porsi ini sudah turun menurun dan sekedar budaya. Dirinya hanya mengikuti saja. 

"Wah ndak tahu, banyak yang kayak gituh. Abang cuma ngikuti saja," ujar Dedi.

Sedangkan menurut Doni, pemilik rumah makan di kawasan Pesakih Kalideres, persoalan porsi yang berbeda ini hanya karena faktor kemudahan. Bila makan di tempat, kurang bisa 'tambuah ciek' (tambah satu). Sedangkan kalau dibungkus tidak bisa lagi minta tambah sehingga seringkali nasinya diperbanyak.

Terlepas dari pertanyaan ini, sebenarnya tidak semua rumah makan padang yang membedakan porsi nasi yang makan di tempat atau nasi yang dibungkus. Pandai-pandai andalah mencari rumah makan padang yang tidak membedakan porsi nasi yang dibungkus atau makan di tempat.

MENGANALISA KALIMAT TIDAK EFEKTIF PADA ARTIKEL BERITA ATAU KORAN

Kembali lagi kita ketemu lagi di blog saya, ana, abdi, gw, ane. dengan gelombang dan jarak yang sama, kali ini saya yaaa mau numpang kasih letih tugas softskill kali aja ada "niatan" liat-liat ehhh dicopas juga monggo boleh ASAL YA!!!! pake SUMBERNYA bro&sist. Oke langsung aja ke TKP nya dibawah ini bersumber dari koran Kompas hari sabtu, 28 Desember 2013 hall 4


Disini saya mau coba mengubah kalimat yang tidak efektif menjadi efektif, walaupun sudah sangat baik tatabahasanya "koran Kompas gtu" tapi ada dikit yang ga sempoa eh sempurna deh, hehee namanya juga manusia bro.
nah ini saya ubah ke kalimat yang lebih baik dan benar(efektif)

- Tahun 2011 terdapat satu orang polisi yang bunuh diri di Sumatra Utara,

Dari kasus bunuh diri yang dilakukan anggota polri terlihat betapa beratnya beban psikologis seseorang polisi.

- Tekanan tugas dilapangan yang cukup berat dan terkadang harus 24 jam berada dilapangan.

Dan Letak pokok kalimatnya terdapat di Akhir alinea atau yang disebut Induktif (terdapat di dalam alinea ke 4)



 Sekian dari saya mohon kalo ada yg salah" dicoment dibawah yaa buat masukan, maklum newbie gan :D